Karibkerabat.com – Ada pelajaran yang disebut-sebut tak menarik bagi siswa SMA untuk mempelajarinya yaitu pelajaran kimia. Sinyalemen ini terbukti, hampir semua praktik laboratorium kimia di Sekolah Menengah Atas (SMA) tidak diikuti dengan bersemangat.
Mereka mau mempelajari ilmu kimia hanya dikarenakan untuk mengejar nilai.
Bisa jadi hal ini disebabkan ilmu kimia yang diberikan lebih menekankan fakta-fakta kimia daripada konsep kimia itu sendiri. Akhirnya, materi pelajaran kimia yang harus dikuasai siswa-siswa SMA menjadi beban dan membosankan.
Mata pelajaran ilmu kimia yang diperoleh siswa SMA selama ini umumnya terbagi dalam urutan kelas. Di kelas 1 SMA (Kelas X), mereka mendapat pelajaran kimia teori. Di kelas 2 (XI) kimia teori dan kimia sistematik non logam. Di kelas 3 (XII), mereka tetap diajari kimia teori, kimia organic, dan sistematik logam.
Oleh karena itu, sebagian besar siswa lebih mengenal kimia hanya teorinya, sehingga menjadi ilmu hafalan tentang fakta-fakta saja . Selain itu, alat peraga guna mempraktekkan ilmu tersebut kurang memadai, terutama anak SMA di pelosok. Belum lagi soal bahan praktik yang tidak muda diperoleh.
Wajar saja bila anak-anak SMA tidak mengetahui perkembangan ilmu kimia dan segan mengembangkannya di luar kelas karena pelajaran kimia dianggap sebagai beban kewajiban, bukan bidang yang perlu ditekuni terus untuk dikembangkan.
Sebenarnya, kurangnya minat siswa terhadap pelajaran kimia juga terjadi di negara maju, bukan hanya di Indonesia. Misalkan di negara Jepang, minat terhadap ilmu kimia dibarengi dengan perombakan cara, metode dan materi yang diberikan, sehingga siswa kembali berminat mempelajari kimia.
Lebih-lebih setelah siswa disadarkan bahwa perkembangan teknologi dan penemuan-penemuan baru dikaitkan dengan ilmu kimia.
Bagaimana pelajaran kimia di Indonesia?
Kondisi pelajaran ilmu kimia untuk SMA di Indonesia tidak menguntungkan karena problem waktu yang sangat minim, materi pelajaran yang update, serta tenaga pendidik.
Jatah waktu untuk mempelajari ilmu kimia di seluruh SMA di Indonesia sangat-sangat terbatas. Per minggu rata-rata mereka mendapat 4 jam (180 menit) pelajaran. Itu pun belum tentu sepenuhnya terlaksana sesuai dengan buku pegangan siswa.
Materi pelajaran lebih menekankan teori itu terkadang membuat guru merasa waswas, jika buku paket yang disediakan pemerintah tidak bisa digunakan untuk menghadapi ujian masuk PTN.
Maka, tidak heran bila banyak guru yang menambahinya atau lebih memilih menggunakan buku yang beredar di pasaran atau diktat buatan sendiri.
Selain itu, masih ada guru pengajar kimia yang latar belakang pendidikannya bukan dari bidang kimia. Meskipun mereka telah ditatar terlebih dulu, malangnya, bekal yang diberikan kepada guru-guru itu dalam program penataran lebih banyak soal penguasaan materi, bukan cara penyampaiannya.
Menjadikan ilmu kimia menarik untuk dipelajari dan ditekuni tentunya tidak sekadar mengubah materinya supaya relevan dengan perkembangan jaman.
Tetapi dukungan guru profesional sebagai pengajarnya, meskipun sulit mengharapkan waktu ekstra guru menambah jam praktik karena mereka juga perlu menyisihkan waktu untuk kepentingan pribadi.
Pelajaran ilmu kimia di SMA yang terlalu teoretis mengakibatkan belajar kimia hampir tidak berbeda dengan belajar sejarah yaitu menghafal dari pada teori.
Praktek di laboratorium dengan suasana dan materi pendukung yang menantang dan menggugah rasa ingin tahu siswa, merupakan salah satu metode menjadikan pelajaran ilmu kimia lebih menarik bagi siswa.