Karibkerabat.com – Bagaikan operasi senyap, DPR tiba-tiba menggelar rapat paripurna pada Kamis (5/9/2019) lalu membahas usulan Badan Legislasi (Baleg) atas revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).
Padahal, wacana revisi undang-undang ini sudah mengendap di DPR sejak beberapa tahun terakhir. Tak perlu waktu lama, dalam rapat paripurna, semua fraksi menyetujui dilakukannya revisi terhadap Undang-Undang ini.
Ketuk palu Wakil Ketua DPR Utut Adianto selaku pimpinan rapat pun menjadi pertanda bahwa rancangan revisi UU KPK telah disahkan sebagai RUU inisiatif DPR. Namun demikian, rancangan revisi UU ini menuai kritik. Sejumlah pihak angkat bicara bahwa poin-poin revisi tersebut justru bakal melemahkan KPK.
Apa saja poin yang dimaksud?
- KPK tak lagi independen
Salah satu poin revisi UU KPK mengatur tentang kedudukan KPK yang berada pada cabang eksekutif. Dengan kata lain, jika revisi undang-undang ini disahkan, KPK akan menjadi lembaga pemerintah.
“Penataan kelembagaan KPK dilaksanakan sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/2017, di mana dinyatakan bahwa KPK merupakan bagian dari cabang kekuasaan pemerintahan.
Komisi Pemberantasan Korupsi termasuk ranah kekuasaan eksekutif yang sering disebut lembaga pemerintah (regeringsorgaan–bestuursorganen),” demikian bunyi penjelasan umum rancangan revisi UU KPK.
Adapun status KPK selama ini bukan bagian dari pemerintah, melainkan lembaga ad hoc independen. Kendati demikian, berdasarkan revisi UU KPK, meski nantinya berstatus lembaga pemerintah, dalam menjalankan tugas dan kewenangannya, KPK bersifat independen. Namun, jika revisi UU KPK ini disahkan, pegawai KPK ke depan akan berstatus sebagai aparatur sipil negara (ASN).
2. Dimonitor dewan pengawas
Revisi Undang-Undang menyebutkan pembentukan dewan pengawas KPK. Setidaknya, ada tujuh pasal yang khusus mengatur tentang dewan pengawas tersebut, yaitu Pasal 37A, Pasal 37B, Pasal 37C, Pasal 37D, Pasal 37E, Pasal 37F, dan Pasal 37G. Berdasarkan Pasal 37A, dewan pengawas dibentuk dalam rangka mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK.
Dewan pengawas bersifat nonstruktural dan mandiri. Anggota dewan pengawas berjumlah lima orang dengan masa jabatan empat tahun. Seseorang dapat menjadi dewan pengawas apabila ia berusia minimal 55 tahun dan tidak tergabung dalam partai politik.
Dewan pengawas dipilih oleh DPR berdasar usulan presiden. Adapun presiden dalam mengusulkan calon anggota dewan pengawas dibantu oleh panitia seleksi (pansel).
DPR dinilai bisa intervensi kasus selain mengawasi tugas dan wewenang KPK, dewan pengawas berwenang dalam 5 hal lainnya. Pertama, memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan.
Kedua, menyusun dan menetapkan kode etik pimpinan dan pegawai KPK. Selain itu, bertugas melakukan evaluasi kinerja pimpinan dan pegawai KPK serta menerima dan menindaklanjuti laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh pimpinan dan pegawai KPK.
3. Izin untuk menyadapÂ
Jika selama ini KPK bebas melakukan penyadapan terhadap terduga tindak pidana korupsi, dalam rancangan Undang-Undang KPK, disebutkan bahwa lembaga antirasuah itu harus mendapat izin tertulis dari dewan pengawas sebelum menyadap.
Setelah kantongi izin, KPK dapat melakukan penyadapan maksimal selama tiga bulan sejak izin diberikan. Penyadapan yang telah selesai juga harus dipertanggungjawabkan ke pimpinan KPK serta dewan pengawas paling lambat 14 hari setelah penyadapan selesai.
Hasil penyadapan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 12D, bersifat rahasia dan hanya untuk kepentingan peradilan dalam pemberantasan korupsi. Hasil penyadapan yang tidak terkait dengan tindak pidana korupsi yang sedang ditangani KPK wajib dimusnahkan segera.
4. Terbitkan SP3
Salah satu poin dalam revisi Undang-Undang KPK ini ialah kewenangan KPK menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3). SP3 diterbitkan untuk perkara tindak pidana korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu satu tahun.
Hal tersebut diatur dalam Pasal 40 Ayat 1 yang berbunyi, “Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara tindak pidana korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun”.
Penghentian penyidikan dan penuntutan nantinya harus dilaporkan ke dewan pengawas KPK dalam jangka waktu satu pekan terhitung sejak dikeluarkannya surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan. Kasus yang tak selesai dalam setahun.
Namun demikian, jika ditemukan bukti baru yang dapat membatalkan alasan penghentian penyidikan dan penuntutan atau berdasarkan putusan praperadilan, pimpinan KPK dapat mencabut surat SP3.
5. Asal penyelidik dan penyidik
Draf revisi UU KPK ini juga mengatur soal asal penyelidik dan penyidik. Dalam UU KPK yang saat ini berlaku, tidak ditegaskan bahwa penyelidik KPK harus berasal dari Polri. Namun, dalam revisi UU Pasal 43 disebutkan bahwa penyelidik harus diangkat dari Kepolisian.
Sementara itu, mengenai penyidik yang diatur dalam Pasal 45, UU yang saat ini berlaku menyebutkan bahwa penyidik KPK adalah yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK.
UU revisi mengatur lebih jelas ketentuan tersebut, bahwa penyidik diangkat dari Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Agung Republik Indonesia, dan penyidik pegawai negeri sipil yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang.