KaribKerabat.com – Sebagai salah satu organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia selain NU, Muhammadiyah terbukti komitmen kuatnya kepada sikap moderat dan toleransi beragama sejak didirikah KH Ahmad Dahlan di Kampung Kauman Yogyakarta, pada 18 Nopember 1912.
Organisasi ini diambil dari nama Nabi Muhammad SAW, sehingga Muhammadiyah juga dapat bermakna orang-orang yang menjadi pengikut Nabi Muhammad SAW.
Didirikannya Muhammadiyah bertujuan mengembalikan seluruh penyimpangan yang terjadi dalam proses dakwah berupa ajaran Islam bercampur-baur dengan kebiasaan/adat istiadat di daerah tertentu dengan alasan adaptasi.
Berciri semangat membangun tata sosial dan pendidikan masyarakat yang lebih maju dan terdidik, Muhammadiyah tidak menampilkan ajaran Islam yang bersifat pribadi dan statis, tetapi dinamis dan berkedudukan sebagai sistem kehidupan manusia di segala aspeknya.
KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah pernah satu kamar asrama pesantren dengan KH Hasyim Asy’ari yang mendirikan Nahdatul Ulama pada 31 Januari 1926 di Surabaya.
Dalam ritual keagamaan, warga Muhammadiyah berbeda dengan NU. Jika di NU ada Tahlilan di Muhammadiyah tidak ada.
Tahlilan bagi orang NU biasanya diselenggarakan di berbagai momentum, umumnya ketika mendoakan seseorang yang sudah meninggal dunia pada malam hari pertama sampai hari ke 40, terus berlanjut hari ke 100 dan hari ke 1000 dan haul tiap tahunnya.
Selain Tahlilan, ziarah kubur merupakan tradisi yang dilakukan oleh orang NU. Orang NU menganggap ziarah kubur menjadikan mereka merasa lebih dekat dengan sang Pencipta dan mengingatkan jika kehidupan hakikatnya fana dan tidak kekal.
Muhammadiyah sangat berhati-hati dalam ziarah kubur. Yaitu hanya mengucapkan salam dan mendoakan ampunan bagi ahli kubur. Itu saja. Berlaku umum juga kepada kubur orang-orang salih.
Untuk amaliah lain seperti Tawassul dalam berdoa kepada ahli kubur orang-orang salih yang sudah wafat ulama berselisih pendapat.
Antara yang membolehkan bahkan menyunnahkan dan yang melarang sama sekali. Perbedaan itu bersifat fiqih yang zhanni. Tidak boleh dibawa ke ranah perbedaan aqidah.
Begitu juga dengan Maulid Nabi, warga NU pada bulan Rabiul Awwal menunjukan kecintaan kepada Nabi mengadakan peringatan maulid yang diisi dengan pembacaan Dibaab,Barzanji,pengajian dan sebagainya.
Tim Fatwa Muhammadiyah belum pernah menemukan dalil tentang perintah menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi saw, sementara itu belum pernah pula menemukan dalil yang melarang penyelenggaraannya.
Menurut Muhammadiyah, perkara ini termasuk dalam perkara ijtihadiyah dan tidak ada kewajiban sekaligus tidak ada larangan untuk melaksanakannya.
Apabila di suatu masyarakat muslim memandang perlu menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi, yang perlu diperhatikan jangan sampai melakukan perbuatan yang dilarang serta harus atas dasar kemaslahatan.
Dulu saat sama-sama berguru kepada H Abdul Karim Amrullah dan Syekh Muhammad Djamil Djambek, Dahlan muda memanggil Hasyim Asy’ari dengan sebutan “Adi (adik) Hasyim”.⠀
Pasalnya kala itu Darwisy (KH Ahmad Dahlan) muda usianya lebih tua dua tahun (16 tahun) dari Hasyim Asy’ari yang acap kali memanggil Darwisy dengan sebutan “Mas (kakak) Darwis”.⠀
Keduanya selama 2 tahun juga belajar pada guru yang sama di Makkah, Arab Saudi, pada 1903 kepada Syekh Ahmad Khatib.⠀
Meski kedua tokoh Islam ini akhirnya berbeda jalan, setidaknya gerakan Islam di Tanah Air bisa dibilang bersumber dari Syekh Ahmad Khatib yang saat itu Imam Besar Masjidil Haram di Makkah.
Walaupun banyak pandangan dan ritual yang bersebrangan, namun ada satu benang merah yang menyatukan keduanya.
NU dan Muhammadiyah sama-sama memiliki sikap toleransi dengan agama lain, tidak berat sebelah dan menjalankan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupannya.